Jumat, 17 Maret 2017

Barus dan Sejarah Peradaban Islam Pertama di Pulau Sumatera



Mungkin, sebagian di antara kita masih ada yang merasa asing dengan nama “Barus” sebuah kota tertua di Indonesia yang terletak di pinggir pantai Barat Sumatera. Tapi, tahukah kita bahwa Barus merupakan perkampungan Arab Muslim pertama di Indonesia? Dan sadarkah kita bahwa karena ketidaktahuan kita, kita melupakannya?

Sekilas tentang Barus

Sebelum menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Barus merupakan kota Emporium dan pusat peradaban pada abad 1 – 17 M, Barus disebut juga dengan nama lain, yaitu Fansur (1). Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Pada zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun, saat Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Kerajaan Aceh.

Lalu kenapa Barus di sebut sebagai kota tertua? Karena mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang di kenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi (2).

Berdasarkan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang panjangnya kira-kira 7 meter. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu. (3)

Sebuah tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang berkerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad ke 9-12 M, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun, dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. (4) hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh dan sebagainya, hidup dengan berkecukupan di kota Barus dan sekitarnya. (5)

Kapan Islam masuk ke Barus?

Masuknya cahaya Islam ke kota Barus juga tak terlepas dari peran Banda Aceh yang rute pelayaran perniagaannya telah dikenal sejak zaman dahulu oleh para pedagang Arab, India dan China.
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara – terutama Sumatera dan Jawa – dengan Cina diakui oleh sejarawan G.R Tibbetts. Tibbetts meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dan jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi”. (6)

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M – hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah saw. menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan kepada bangsa Arab – di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Buddha Sriwijaya.

Disebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak-pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Selain itu, mereka juga memiliki kedudukan yang baik dan mempunyai pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Buddha Sriwijaya). Bahkan, kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Semakin lama, semakin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan, ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai. (7)

Bahkan, Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi pada tahun 1000 M menulis sebuah kitab yang menggambarkan betapa di zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim. Perkampungan itu berdiri di dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hanya karena hubungan yang teramat baik dengan dunia Islam, Sriwijaya memperbolehkan orang-orang Islam yang sudah ada di wilayahnya sejak lama hidup dalam damai dan memiliki perkampungannya sendiri, dimana di dalamnya berlaku syari’at Islam. (8)

Temuan lain mengenai Barus juga diperkuat oleh Prof. Dr. HAMKA, yang menyebutkan bahwa, seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, Hamka menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Nusantara. Hamka juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. (9)

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Mekkah sendiri pada abad itu (dengan mempergunakan kapal laut dan transit lebih dulu di Tanjung Comorin, India) konon memakan waktu 2,5-hampir 3 tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2,5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 M lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam, setidaknya memerlukan waktu 5-10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para sahabat Rasulullah SAW., segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shib, sedangkan Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 M atau 31 H dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan tiga kali berganti kepimimpinan. Maka dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepimimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644 -656 M). hanya berselang 20 tahun setelah Rasulullah saw. wafat (632 M). (10)

Dari bukti-bukti di atas, dapatlah dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:

• Rasulullah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, 2,5 tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M).

• Lalu selama 3 tahun lamanya berdakwah secara diam-diam – periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M) dan setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Mekkah ke seluruh Jazirah Arab.

• Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (yang disebut Barus).

Jadi, hanya 9 tahun sejak Rasulullah saw. memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. (11)

Inilah, yang oleh banyak sejarawan dikenal dengan Teori Mekkah. Sehingga Teori Gujarat yang berasal dari Orientalis Snouck Hurgronje terbantah dengan sendirinya. Dan Barus akan tetap menjadi sejarah peradaban Islam yang tak akan terlupakan bagi siapa saja yang mengetahuinya. (Penulis, Sarah Larasati Mantovani)


Footnote:

(1) http://id.wikipedia.org/wiki/Barus,_Tapanuli_Tengah, data-data ada yang di ambil dari buku Rizki Ridyasmara, Gerilya Salib di Serambi Mekkah: Dari Zaman Portugis hingga Paska Tsunami, Pustaka al-Kautsar, 2006, Jakarta.

(2) Ibid, hlm. 4-5. Lihat Akhir Perjalanan Sejarah Barus, KOMPAS, 1 April 2005.

(3) Lihat Naskah Jawi yang dialihtuliskan dan dipetik dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus”, lihat juga Sejarah Raja-Raja Barus, Ecole Franéaise d’Extréme-Orient, 1988 dan A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra, Oxford University Press, 1999.

(4) Ibid, hlm. 5.

(5) Ibid, hlm. 6. Lihat Sagimun M.D., Peninggalan Sejarah, Masa Perkembangan Agama-Agama di Indonesia, CV. Haji Masagung, cet. 1, 1998, hlm. 58.

(6) Ibid, hlm. 3. Lihat G.R Tibbetts, Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt.3, 1956, hlm. 207. Penulis Malaysia – Dr. Ismail Hamid dalam Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, terbitan Pustaka al-Husna, Jakarta, cet.1, 1989, hlm. 11 juga mengutip Tibbetts.

(7) Ibid, hlm. 3-4. Lihat Kitab Chiu Thang Shu, tanpa tahun.

(8) Ibid, hlm. 12. Lihat Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi, Aja’ib al Hind.

(9) Ibid, hlm. 4. Lihat HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas, cet. 3, Jakarta, 1996, hlm. 4-5.

(10) Ibid, hlm. 9.

(11) Ibid, hlm. 7. Lihat Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hlm. 390-391.
Foto: Masyarakat Barus Tempo Dulu






Senin, 13 Maret 2017

100 UNIVERSITAS TERBAIK 2016



Berikut ini daftar 100 perguruan tinggi 2016 versi Kemenristekdikti, Peringkat ini telah diumumkan oleh Kemenristekdikti pada pada awal Februari 2016. Setidaknya ada 3.320 perguruan tinggi yang dinilai. Dan perguruan tinggi yang berasal dari Sumatera Utara ada 3 (tiga), adalah :

  1.  Institut Teknologi Bandung
  2. Universitas Gadjah Mada
  3. Institut Pertanian Bogor
  4. Universitas Indonesia
  5. Institut Teknologi Sepuluh Nopember
  6. Universitas Brawijaya
  7. Universitas Padjadjaran
  8. Universitas Airlangga
  9. Universitas Sebelas Maret
  10. Universitas Diponegoro
  11. Universitas Hasanuddin
  12. Universitas Andalas
  13. Universitas Negeri Malang
  14. Universitas Negeri Yogyakarta
  15. Universitas Kristen Petra
  16. Universitas Jenderal Soedirman
  17. Universitas Negeri Semarang
  18. Politeknik Elektronik Negeri Surabaya
  19. Universitas Pendidikan Indonesia
  20. Universitas Riau
  21. Universitas Negeri Surabaya
  22. Universitas Lampung
  23. Universitas Sriwijaya
  24. Universitas Sanata Dharma
  25. Universitas Katolik Parahyangan
  26. Universitas Muhammadiyah Malang
  27. Universitas Surabaya
  28. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
  29. Universitas Negeri Medan
  30. Universitas Jambi
  31. Universitas Negeri Makassar
  32. Universitas Islam Bandung
  33. Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
  34. Universitas Muslim Indonesia
  35. Universitas Tadulako
  36. Universitas Mataram
  37. Universitas Bengkulu
  38. Universitas Sumatera Utara
  39. Universitas Katolik Soegijapranata
  40. Universitas Bina Nusantara
  41. Universitas Muhammadiyah Surakarta
  42. Universitas Islam Malang
  43. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
  44. Universitas Mahasaraswati Denpasar
  45. Universitas Jember
  46. Universitas Pendidikan Ganesha
  47. Universitas Gunadarma
  48. Universitas Mulawarman
  49. Politeknik Negeri Jakarta
  50. Institut Seni Indonesia Yogyakarta
  51. Universitas Islam Indonesia
  52. Universitas Kristen Maranatha
  53. Universitas Muhammadiyah Jakarta
  54. Universitas Al-azhar Indonesia
  55. Sekolah Tinggi Hukum Bandung
  56. Universitas Narotama
  57. Universitas Udayana
  58. Universitas Lambung Mangkurat
  59. Universitas Nasional
  60. Universitas Negeri Jakarta
  61. Universitas Syiah Kuala
  62. Universitas Pancasila
  63. Institut Sains Dan Teknologi Akprind
  64. Universitas Kristen Satya Wacana
  65. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
  66. Universitas Atma Jaya Yogyakarta
  67. Politeknik Negeri Semarang
  68. Universitas Pendidikan Nasional
  69. Universitas Halu Oleo
  70. Universitas Sam Ratulangi
  71. Politeknik Negeri Bandung
  72. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Yogyakarta
  73. Universitas Djuanda
  74. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya
  75. Universitas Trisakti
  76. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya
  77. STMIK Jakarta Sti&k
  78. Universitas Pancasakti
  79. STMIK Amikom
  80. Universitas Hang Tuah
  81. Universitas Telkom
  82. Universitas Nusa Cendana
  83. Universitas Islam Sultan Agung
  84. Universitas Tarumanagara
  85. Universitas Sahid
  86. Institut Teknologi Nasional Bandung
  87. Akademi Kebidanan Yogyakarta
  88. Universitas Negeri Padang
  89. Universitas Muhammadiyah Palembang
  90. Universitas Muhammadiyah Jember
  91. Universitas Trunojoyo
  92. Universitas Merdeka Malang
  93. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Malangkucecwara
  94. Universitas Pembangunan Panca Budi
  95. Universitas Muhammadiyah Purwokerto
  96. Akademi Peternakan Karanganyar
  97. Indonesia Banking School
  98. Institut Seni Indonesia Surakarta
  99. Politeknik Negeri Malang
  100. IKIP PGRI Bali

Sabtu, 11 Maret 2017

PERESMIAN BANGUNAN BARU MASJID ABIDIN MEDAN

Pada tanggal 10 Maret 2017 M (11 Jumadil Akhir 1438 H), Gubernur Sumatera Utara, Ir. H. Tengku Erry Nuradi, M.Si, meresmikan pemakaian bangunan Masjid Abidin dengan melakukan pemukulan Bedug dan melaksanakan sholat Jumata berjamaah di masjid Abidin Medan.

Sebagai Khatib dalam pelaksanaan Jumat ini adalah Direktur Pascasarjana UINSU Medan, Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahab, MA. dan acara ini dihadiri oleh, mewakili Walikota Medan, Asisten Pemerintahan dan Sosial Mussadad, Ketua MUI Sumut Prof. Dr. KH Abdullah Syah, MA., Ketua Dewan Masjid Indonesia Kota Medan Ir. H. Ahmad Parlindungan Batubara, M.Si.,  Ketua BKM Masjid Abidin Ir. Muslim Chatib Lubis, Sekretaris BKM Masjid Abidin Hambali Lubis, SH,  Ketua Panitia H. Rusdi, dan Sekretaris panitia Efrizal Adil Lubis, SE, MA.,  mewakili pewakif (wakaf) Ade Rosida, SE, tokoh masyaraat setempat Drs. H. Burhanuddin Lubis, sejumlah ulama, tokoh masyarakat, pengurus BKM Masjid Abdin lainnya, ibu-ibu majelis taklim, remaja masjid dan undangan.

Peresmian masjid ini juga ditandai dengan peluncuran buku ‘Mengenal Masjid Abidin dari Masa ke Masa’. Pembangunan keseluruhan masjid ini menghabiskan dana Rp 4,5 miliar lebih.  Dalam kesempatan itu, Gubsu menyebutkan pembangunan masjid ini diawali dengan peletakan batu pertama oleh Walikota Dzulmi Eldin pada 21 Maret 2015."Hari ini kita menyaksikan bersama-sama sebuah bangunan masjid yang indah dan cantik bahkan Paten berdiri kokoh dan megah di Kota Medan," sebut Erry.Namun, Gubsu menyebutkan, masjid dikatakan indah, cantik dan Paten apabila masjid tersebut penuh dengan jamaah setiap hari, baik pada waktu shalat maupun untuk pengajian, berdiskusi dan kegiatan silaturahmi yang bermanfaat lainnya.

"Untuk itulah, peran dan fungsi utama masjid selain tempat beribadah kehadirat Allah SWT (hablum minallah), juga berfungsi sebagai wahana pengembangan masyarakat yang bersifat sosial (hablum minannas). Ini bertujuan untuk merespon dinamika perkembangan zaman dengan senantiasa mengoptimalkan peran dan fungsi masjid di tengah-tengah masyarakat Isam umumnya dan lingkungan sekitar," tutur Gubsu.

Gubsu menambahkan, Pemprovsu memberi apresiasi yang tinggi atas perjalanan sejarah dari masa ke masa Masjid Abidin, yang sejak 1920 merupakan perkampungan kecil di wilayah Keurungan Datuk Sukapiring, yang umumnya memiliki budaya Melayu dan Mandailing. Atas musyawarah mufakat masyarakat berbilang kaum tersebut, pada 1930 berdirilah sebuah Langgar (Surau) di kawasan tersebut.
 
"Sejalan dengan perkembangan zaman, istilah Langgar berubah nama menjadi Musholla. Namun karena statusnya tersebut belum bisa melaksanakan ibadah Jumat apalagi ketika itu penduduk dan masyarakat sekitarnya belum ramai dan mereka melaksanakan shalat Jumat pergi ke Masjid Raya Al Mashun dan Masjid Jami’ Kampung Baru," pungkas Gubsu.